My Blog List

My Blog List

link Facebook "Doel Mahessa Jeenar"

Friday, September 27, 2013

TENTANG KISAH KITA

mengingatmu adalah kesunyian yang jatuh
terlewat jarak sejauh waktu yang jatuh
melepas sejuta kenangan serapuh gaduh
ranting pun gemertak patah ketika mengingatmu
mengguncang separuh jiwa yang kosong karena ngilu
ketika jejak langkah menyatukan separuh jiwa itu
lalu membumikan yang tak pernah dimengerti bersamamu

“maka perpisahan yang tercampur dalam irama katakata
semakin jauh kita lepaskan dari tubuh kesendirian”

dan detikdetik jam mengeluh lelah
setiap berputar melawan arah
melepas penat karena payah
menyatukan jarak yang tak pernah sudah
maka pergilah segala sumpah segala seranah

lihatlah, malam ini angin malas berhembus
udara yang turun begitu dingin menembus rusuk
merasuk lewat sebaris kata yang pernah kita susun bersama
saat malam gelapgulita

(kau dan aku membangun cinta lewat suara
dari makna dari gemuruh dalam dada
dan resah setiap senja
yang pernah kita pandang bersama)

di teras belakang kerik jangkrik terdengar sirik
memanggil bintang memanggil rembulan yang terusik
mungkin bisa disatukan dalam sebuah ikatan
tempat berlabuhnya sebatang malam setengah diam
dan berbaris menatap semua kerinduan yang demam
karena dendam paling dalam pada kesunyian

setiap hari, bahkan waktu yang terlewati
kau titipkan sebuah keterpurukan rasa sayang ini
yang pernah memberi warnawarni
pada awan silut senja dan dawai mimpi
yang tercipta lewat sebatang ingatan sepi

(mungkin hanya cukup sebuah ketaksengajaan,
tapi memang harus diakui
semua yang terjadi hanya mampir
untuk sekedar memberi salam lalu pulang)

Sunday, September 22, 2013

KU NIKMATI AKHIR CERITA INI

terlerai sudah semua harap...
Menyerah pada setiap kesakitan...
Penuh duka dan kehampaan...

perih yang terasa...
Adalah jawaban dari bimbang..
Paksa asa kembali terpuruk..
Bersama cinta yang tak tergapai..

Tak mampu lagi bertahan...
Dalam bimbang cinta tak bertuan...
Jiwa terkoyak batin mengerang..

Beribu sesal merejam...
Harus terlepas belahan jiwa..
Yang setia dalam sukma...
Meski tak sanggup hadapi luka..

Karena cinta tak nyata...
Karena asa tak teraih..
Terdampar di lautan kedukaan...
Bersama pilu yang terbungkam...

Lepaslah engkau kini cahaya
tebarkan pesona di angkasa
biarkan aku merintih...
Lirih menahan perih...

DENGARLAH PEDIHKU TUHAN

tuhan ku.....
seandainya aku mampu menolak rasa,
pasti kan ku tolak perasaan cinta
yang hadir membawa sayatan luka,,,
Seandainya kau tak berkehendak atas dia ,,
yang harus hadir dalam kehidupanku,
maka aku tak pernah berharap dia ada mengisi hari hariku.....
Tuhan,,,,
Aku hina di matanya,,,,
aku yang dia anggap hanya onggokan sampah,
dari isi yang pernah ada,,
sekarang tak lgi dapat membaca
,semua gelap ya tuhaaan,......
aku tak pernah bermaksud melukainya,,,
semua hanya karena perasaan yang kau hadirkan padaku,
'semua atas kehendak mu yang mempertemukan ku denganya tuhan,,
Aku tak menyesali ini,
,hanya saja Aku bertanya
mengapa....
Seandainya aku mampu mengakhiri semua ini..
tuhan....

Wednesday, September 18, 2013

Sepenggal perjalanan menuju kotamu….




Langit bermuram seolah penuh Tanya,,Ada apa dengan rembulan malam ini???Dan anginpun membisikan sesuatu kepadaku tentang lingkaran pertanyaan yang sampai saat ini belum mampu ku pecahkan….HIngga di ujung senja laju kereta membelah sunyi malam ,bersama hembusan angin di pekat malam,Namun tumpukan harap membeku di atas gerbong,membatu keras dalam bisunya ribuan pertanyaan..Sementara kereta melaju semakin dekat menuju kotamu,,,,,
Aku berharap Angin membawa  kabar,.tentang rembulan yang mulai tertutup kabut malam,,,namun hingga pagi menjelang Angin hanya terdiam,,membisu dalam lingkaran penuh harap  yang semakin membuyar di bias pagi temaram……
Deru dan laju terhenti ,Langkah kaki teriring hiruk riuhnya pagi di kota legenda,,kota yang sempat membesarkanku….lelahku belum terbayar sebab kotamu masih ada di ujung tatapanku…Di atas lunglai harapan yang tak kunjung terang,ku pasrah di sudut kebimbangan,termangu dalam kesedihan,sebab Tak kunjung angin memberi  kabar,,dan senja pun berulang,,memetik tiap baris dari sekedar harapan….
Malam yang sangat menyakitkan,perjalanan ku tak berujung keindahan,,hingga rembulan benar2 menghilang di telan kerinduan,,,tak seharusnya aku menangis dan menyesali kegagalan,tapi perih tak bisa sembunyi dan di sembunyikan,,,hingga tiap tarikan nafas adalah sayatan yang susah untuk ter elakan….Ku coba  berlari melewati kotamu , tuk menutup kepahitan,di bawah hijau dedaunan berharap tenang mengisi kepekatan,,hingga hujan menggugurkan daun2 di talaga batinku,,namun harapan tinggal harapan….
Jalan ku tak berujung,tak ku temukan dirimu di kota itu,,karena perjalanan seolah2 lenyap dalam kebencian,,Aku masih saja terkurung dalam sejuta pertanyaan…dimana rembulan beberapa malam ini???? Hingga jalanku kembali menuju gerbong kesedihan berakhir penuh kepahitan……..

PUISI PUISI PENANTIAN

TERLALU BESAR UNTUK MU

Ditengah malam syahdu nan pekat
Ku teringat pada mu, bayangmu
Selalu melintas di kelopak mataku
Ku coba untuk melupakanmu
Namun bayang mu, trus menghampiriku
Sunyiku kau tabur bunga rindu
Kau bagai angin yang sejukkan
Jiwa ragaku…
Namun kini, sia-sia sudah mahligai cintaku
Mimpi indah tiada lagi, sirna terbakar
Kayu arang abu…
Ku coba bertanya pada malam
Dia membisu
Angin berlalupun, tak memberikan
Jawaban,,
Hanya satu yang terucap
Mengapa aku mencintaimu
Mengapaaku menyukaimu..

MUTIARA YANG HILANG


Bulan ini menjadi bukti
Goresan tinta berbayang sudah
enggan liukkan cairan hitam
dikertas suci putih indah merona

Perempatan jalan penuh cahaya
diam terpaku harapan hampa
Menoleh kebelakang gelapnya malam
tak terlihat indahnya kilauan

Mutiara pun kini hilang
dibawa angin tiupan senja
Ingin menjemput kembali pulang
jauh sudah langkah berjalan.

Pancaran sinar kembali datang
Tergugah hati terasa riang
Harapan membawa harta yang hilang
Milik jiwa penuh rasa,cinta,kasih,sepancar mutiara dipuncak gunung
silau kilauan tlah hilang dari pandangan…..

Wednesday, September 11, 2013

DENGARKANLAH………




Oleh: Abdoel Munawar

Ketika ku tenggelam dalam asmara cintamu
Dan tanpa tersentuh secuil pun rasa itu Olehmu
Hatiku pun, Terluka ...

Ku rangkai untaian Doa dalam syair tanpa makna

Dalam lantunan penuh  Cinta ...
Membeku di ruang  hatimu..
Yang  tak pernah tahu arti menunggu
Dalam dingin ku berkhayal tentang Hadirmu
Tuk sedikit menghapus Duka laraku
Wahai harap….dengarlah jerit hatiku
Mengingatmu

DI MANA RASA MU

geliat asa membungkus raga
akan rasa yang kian sirna
aku lelah, aku gelisah dalam diammu
seakan kau hujam aku dengan ribuan mata pisau
hingga sesak dada oleh sembilu
aku terpuruk, oleh tatapmu
terkulai, terkapar tak bermaya
namun taukah kasih, aku pernah menjuntai asa
terbang oleh rasa yang kau balut cinta
hingga tak sadar ku dendangkan syair
syair rinduku yang kian menggebu

Namun, saat tajam matamu diam membisu
semua seakan sirna, semua seakan tak lagi ada untukku
oh kasih, carilah kedalam hatiku
hingga aku tak lagi mencarimu
masuklah, semua rasa dihati adalah untukmu
datanglah kasih, ku disini tak ada tanpamu
kemarilah, cobalah lepaskan gelisah ini

kau bunuh harapan ini dengan diammu
sedikit saja tak maukah mengerti?
akan siapa dan bagaimana diri ini untukmu
mungkin aku gila, mungkin aku tak lagi waras
hingga senyummu pun tak kulihat lagi
namun saat kau diam tanpa sebab
seakan aku semakin hilang
aku bukan siapa-siapa saat kau tak hiraukan cinta ini
hati yang diam, kata yang tak lagi ada untukku
membuatku semakin ada dalam jenuhku..

Tuesday, September 10, 2013

Jalan Makrifat dan ManunggalingKawulo Gusti (Dialog Syech Siti Jenardengan Kebo Kenongo)



Category: CERITA SEJARAH



“Syekh, saya telah mencoba untuk
menuju ‘manunggaling kawula gusti’.”
Kebo Kenongo menghampar serban
di depannya. Lalu berdiri.
“Andika sekarang akan shalat?” Syekh
Siti Jenar duduk bersila di sampingnya. “Bukankah andika telah mencoba
menuju maunggaling kawula gusti?”
“Benar, namun saya belum sampai.
Sekarang saya akan shalat.” terang
Kebo Kenongo.
“Tujuan andika shalat?” Syekh Siti Jenar tersenyum.
“Bukankah shalat jalan kita untuk
menuju manunggaling kawula gusti,Syekh?”
Kebo Kenongo mengerutkan
dahinya.
“Bukan.” ujarnya pendek. Syekh Siti Jenar memutar tasbih seraya
mulutnya komat-kamit berdzikir.

“Apakah harus berdzikir menuju
maunggaling kawula gusti, Syekh?”
tanyanya kemudian.
“Tidak juga.” jawab Syekh Siti Jenar
pendek.
“Lantas, untuk apa shalat dan berdzikir?” kerutnya. “Bukankah Syekh pernah mengatakan kalau semua itu upaya untuk mendekatkan diri
dengan Allah?”
“Jika itu jawaban Ki Ageng Pengging benar adanya.” Syekh Siti Jenar sejenak memejamkan mata, kemudian membukanya lagi dan menatap Kebo Kenongo yang masih berdiri hendak shalat.
“Bukankah mendekatkan diri kepada Allah sama saja dengan menuju manunggaling kawula gusti?” tanya
Kebo Kenongo selanjutnya.
“Tidak juga, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar.
“Lantas?”

“Manunggaling kawula gusti sangat berbeda dengan mendekatkan diri kepada Allah.” terang Syekh Siti Jenar.
“Perbedaannya?” keningnya semakin berkerut .

“Karena yang namanya dekat berbeda dengan manunggal. Manunggal bukanlah dekat. Dekat bukanlah manunggal.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak. “Namun sekarang sebaiknya Ki Ageng Pengging shalatlah dulu, berceritalah setelah selesai mendirikan nya.” tambahnya.
“Baiklah, Syekh.”

Keadaan di padepokan Syekh Siti Jenar sore itu terasa segar. Panas matahari tidak menyengat seiring dengan bayang-bayang manusia yang kian meninggi.
Udara pegunungan terasa sejuk, pepohonan dan tumbuhan berdaun lebat menambah suasana asri.
Padepokan yang ditata sedemikian
rupa menambah khusuk para pencari ilmu.
“Syekh…” Kebo Kenongo mendekat, “Shalat saya sudah selesai.”
“Baiklah,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, “Apa yang andika rasakan saat shalat?”
“Tidak ada.”
“Tidakah merasakan sejuknya udara pegunungan? Tidakah andika melihat kain serban yang terhampar di tempat sujud?” lanjut Syekh Siti Jenar.
“Tidak,” jawab Kebo Kenongo.
“Tidakah andika mendekati Allah?”
tanyanya kemudian. “Saya tidak merasakannya. Tidak pula
menjumpainya.” ujar Kebo Kenongo.
“Mungkin shalat saya terlalu khusuk.”

Syekh Siti Jenar menengadah ke langit,lalu duduk bersila di atas rumput hijau yang dihampari tikar pandan. Gerak-geriknya tidak luput dari pandangan Kebo Kenongo.
“Lihatlah!” kedua tanganya ditumpuk di bawah dada. Tiba-tiba tubuhnya mengangkan dari tikar yang didudukinya dengan jarak satu jengkal, dua jengkal, satu hasta, dua depa.
“Apa yang terjadi, Syekh?” Kebo Kenongo garuk-garuk kepala,
keningnya berkerut-kerut.
“Ini hanyalah bagian terkecil akibat
dari pendekatan dengan Allah…”
dalam keadaan melayang, matanya
menatap tajam ke arah Kebo Kenongo.
“Hasil pendekatan? Jadi bukan
manunggaling kawula gusti?” dengan menahan kedip Kebo Kenongo bertanya.

“Saya belum menerangkan tentang
manunggaling kawula gusti. Namun kita tadi berbicara tentang upaya pendekatan…” terang Syekh Siti Jenar,perlahan menurukan kaki satu persatu hingga akhirnya kembali menyentuh tanah.
“Dengan jalan shalatkah?” tanya Kebo Kenongo. “Bukankah saya tadi waktu shalat tidak menemukan apa pun,bahkan tidak bisa melakukan seperti yang Syekh perlihatkan.” “Jangan salah ini bukan shalat! Namun shalat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tadi merupakan syari’at bagi pemeluk Islam, juga ibadah bagi hamba atau abdi Allah. Maka hukumnya wajib.” urai Syekh Siti Jenar, “Namun ketika
orang belum lagi menemukan hakikat dari shalat, itulah seperti yang Ki Ageng Pengging rasakan.”
“Hampa.” desis Kebo Kenongo, seraya menatap Syekh Siti Jenar dengan penuh kekaguman.
“Kebanyakan orang adalah seperti itu,Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar melangkah pelan .

Jika demikian saya baru berada pada
tahapan syari’at. Bisakah saya
menemukan hakikat yang dimaksud
oleh Syekh Siti Jenar?” Kebo Kenongo
seakan-akan kehilangan gairah.
“Hakikat menuju pada pendekatan sebelum manunggaling kawula gusti,
maka seperti yang pernah saya
jelaskan pada Ki Ageng. Kita meski
berbeda agama namun bukanlah
andika harus memaksakan syari’at
ajaran yang saya miliki untuk Ki Ageng kerjakan. Karena kebiasaan andika
adalah bersemadi. Bukankah dengan
cara itu andika merasakan hal yang
berbeda, terutama dalam upaya
pendekatan.” Syekh Siti Jenar kembali
mengurainya. Benar, Syekh.” sejenak Kebo Kenongo
merenung. “Syekh, ternyata saya lebih bisa
merasakan mendekati Sang Pencipta
dengan cara bersemadi.” Kebo
Kenongo melangkah pelan di samping
Syekh Siti Jenar.
“Karena Ki Ageng Pengging sudah terbiasa dengan cara itu.” ujar Syekh
Siti Jenar pandangannya tertunduk ke
ujung kaki.
“Benar, seperti Syekh sampaikan. Cara
pendekatan dan kebiasaan ternyata
tidak mudah untuk dirubah. Namun ketika kita menggunakan jalan yang
berbeda ternyata memiliki tujuan
sama.” Kebo Kenongo menghela
napas dalam-dalam.
“Kenapa? Ya, karena itulah yang
disebut manunggal. Satu.” terang Syekh Siti Jenar, menghentikan
langkahnya seraya matanya menatap
puncak gunung yang berkabut.
“Benar, Syekh. Orang melakukan tata
cara dan ritual dalam wujud pisik yang
berbeda namun tujuannya tetap satu. Sang Pencipta.” tambah Kebo
Kenongo.
“Satu harapan untuk mendapatka
nnya. Mendekatkannya, meraihnya,
dan manunggal.” terang Syekh Siti
Jenar. “Namun belum manunggaling kawula gusti, yang akhirnya wahdatul
wujud.”
“Lantas?”
“Mereka mendekatkan diri kepadanya
bukan untuk tujuan manunggal,
tetapi untuk mengajukan berbagaima cam permohonan dan keinginan.
Karena mereka lebih mencintai urusan
lahiryah yang cenderung duniawi
ketimbang urusan alam kembali,
akhirat.” Syekh Siti Jenar melirik ke
arah Kebo Kenongo. “Bukankah ada juga orang yang tidak
terlalu tertarik pada urusan lahiryah
saja? Namun mereka menginginkan
kesempurnaan hidup dan masuk
dalam tahap akrab dengan Sang
Pencipta?” kerut Kebo Kenongo, tatapannya mendarat pada wajah
Syekh Siti Jenar yang bercahaya.
“Itulah yang jumlahnya sangat sedikit,
Ki Ageng Pengging.” lalu Syekh Siti
Jenar memberi isyarat dengan jari
jemari tangannya. “Kecenderungan orang melakukan pendekatan pada
Allah karena mengharapkan sesuatu,
atau orang tadi dalam keadaan susah.
Ketika mereka merasa senang dan
bahagia, lupalah kepadanya.”
“Mengapa, Syekh?”
“Karena tujuan pendekatan mereka
untuk meraih dan memohon kebaikan
lahiryah saja.” terang Syekh Siti Jenar.
“Ketika merasa sudah terkabul
keinginannya, kemudian melupakan Allah.” Bukankah tidak semua orang seperti
itu, Syekh?” tanya Kebo Kenongo.
“Tidak, hanya hitungannya lebih
banyak.” Syekh Siti Jenar melipat jari
jemarinya. “Sangat sedikit orang yang
punya kecenderungan untuk mengikat keakraban dengan Sang
Pencipta. Padahal tahap terkabulnya
permohonan mereka bukan karena
akrab, tapi dalam Supaya mendekat
dan kemahamurahannya saja. Jika
seandainya mereka sudah merasa akrab dan berada dalam keakraban
tidak mungkin melepas ikatannya
semudah itu.” urainya. “Jika sudah akrab saya kira tidak
mungkin orang untuk menjauh.
Karena untuk mengakrabi perlu upaya
mendekatan yang memerlukan waktu
tidak sebentar.” Kebo Kenongo
mengangguk-anggukan kepala. “Ya, maka tahap akrab dengan Allah
itulah ketika orang dalam keadaan
ma’rifat. Ketika kita tidak memiliki lagi
garis pemisah untuk saling bertemu.
Kapan pun, dimanapun, tidak ada lagi
sekat-sekat dan ruang kosong sebagai jeda untuk mengakrabinya.” Syekh Siti
Jenar menghela napas dalam-dalam. “Ya, ya, benar, Syekh.” Kebo Kenongo
berkali-kali mengangguk-anggukan
kepalanya.
“Nah, pada tahap akrab itulah kita
meminta apa pun tidak mungkin
tertolak. Mana ada keakraban tanpa adanya keterikatan kasih sayang?”
Syekh Siti Jenar perlahan melangkah
lagi.
“Tentu, Syekh. Saya sangat paham.”
Kebo Kenongo terkagum-kagum
dengan uraian Syekh Siti Jenar. “Keakraban dengan Allah tidak
mudah. Namun ketika kita sudah
berada dalam lingkarnya tidak mudah
pula untuk melepas.” Syekh Siti Jenar
berdiri mematung di bawah pohon
kenanga. “Benar, meski saya pun dengan susah
payah mendekat untuk meangkrabi
nya belum juga sampai. Karena upaya
saya bukan hanya untuk mendekat
dan mengajukan berbagai
permohonan. Namun ingin mengakrabinya.” ujar Kebo Kenongo.
“Jika dalam keadaan sangat akrab
bukankah tidak memohon pun akan
diberinya?”
“Ya,” ujar Syekh Siti Jenar. “Berjuangl
ah dan bergeraklah ke arah sana. Jika sudah tercapai, keinginan lahiryah pun
secara perlahan tidak lagi menjadi
persoalan yang sangat istimewa. Itu
semua dirasakan hanyalah sebagai
pelengkap lahiryah saja. Sebagai syarat
hidup.” “Benar, Syekh.” Kebo Kenongo kembali
mengiringi langkah Syekh Siti Jenar.
“Padahal tidak hanya Raden Patah
yang memiliki darah biru dan sekarang
menjadi Penguasa Demak Bintoro.
Saya pun masih keturunan Majapahit. Namun saya tidak punya hasrat sedikit
pun untuk menjadi penguasa. Tujuan
saya bukan itu, tetapi seperti Syekh
terangkan tadi.” “Keinginan lahiryah itulah yang
memenjarakan kita menuju ma’rifat.
Ruang kosong, antara, jarak, jeda,
pemisah, yang merintangi keakraban
kita dengan Sang Pencipta.” terang
Syekh Siti Jenar. “Perintang tadi berupa semua keinginan lahiryah yang
distimewakan oleh nafsu keduniawian,
karena ingin berkuasa, ingin kekayaan,
dan banyak keinginan. Itu semua yang
dinomor satukan. Lahirnya keserakaha
n.” “Jika itu yang masuk ke dalam jiwa dan
pikiran, hati ini akan terasa gelap.” ujar
Kebo Kenongo. “Mana mungkin
menuju akrab untuk mendekat pun
kita harus mencari cahaya jika tidak
tentu membabi buta.” “Nah, itulah penggoda manusia untuk
meraih keakraban dengan Allah.
Jernihkan hati, tenangkan jiwa,
damaikan gejolak nafsu, merupakan
upaya untuk membuka jalan
keakraban.” tambah Syekh Siti Jenar. “Manusia terkadang sangat sulit
menyusuri jalan yang penuh dengan
godaan tadi. Karena dalam dirinya
memiliki nafsu yang sangat sulit untuk
dikendalikan. Itulah upaya perjuangan
menuju keridloannya. Menuju akrab pada Allah. Terkadang manusia hanya
sebatas berucap dibibir, bahwa dirinya
telah akrab tetapi dalam kenyataannya
tidak. Lalu mengakui bahwa saya telah
ma’rifat. Sebenarnya ma’rifat bukan
sebuah pengakuan, tetapi realitas dalam tahapan akrab. Terbelengulah
dengan ikatan kata-kata.” “Ya.” Kebo Kenongo menghentikan
langkahnya seiring dengan Syekh Siti
Jenar. “Adakah perbedaan antara
ma’rifat dengan akrab? Atau memang
sama ma’rifat adalah akrab, sedangkan
akrab adalah ma’rifat?” tanyanya kemudian.
“Orang yang sudah ma’rifat tentu
akrab. Orang yang sudah akrab tentu
sudah ma’rifat.” terang Syekh Siti
Jenar, jubahnya yang berwarna hitam
berlapis kain merah tersibak angin pegunungan. “Ma’rifat itu sendiri?” kerut Kebo
Kenongo. “Tahu, Mengetahui.” berhenti sejenak.
“Namun tidak cukup itu, tentu saja
harus diurai dengan maksud dan
makna yang terarah. Mengetahui
tentang apa? Tahu tentang apa?
Tentu saja tentang dirinya dan Tuhannya. Bukankah terkait dengan
makna akrab. Sehingga ada istilah
kalau ingin mengenal Gustimu,
Allahmu, maka harus mengenal dirimu
sendiri.” Lanjut Syekh Siti Jenar. “Saya pernah mendengar, Syekh.”
Kebo Kenongo merenung. “Bukankah
Tuhan itu lebih dekat dari pada urat
leher dan lehernya, bola mata putih
dengan hitamnya?” “Tentu,” Syekh Siti Jenar melirik ke
samping. “Namun itu sifatnya umum.
Tidak masuk ke dalam makna akrab.
Bahkan ma’rifat juga mungkin tidak.”
“Bukankah untuk menuju ma’rifat
pun tidak mudah, Syekh? Tetapi ada tahapannya, yaitu Syariat, hakikat,
tharikat, dan akhirnya ma’rifat.” ujar
Kebo Kenongo.
“Harusnya demikian.” Syekh Siti Jenar
memutar lehernya seiring dengan
tatapan matanya, tertuju ke puncak pegunungan. “Bukan berarti orang
harus memahami tahapan tadi. Karena
tanpa memahami tahapan tadi pun
orang bisa berada dalam tingkat
ma’rifat, disadari atau diluar
kesadarannya. Sebab tidak semua orang wajib tahu tetang sebuah
istilah, yang penting adalah sebuah
pencapaian, lantas bisa merasakann
ya.” “Bukankah istilah tadi hanya ada dalam
agama Islam yang dianut Syekh
sendiri.” tambah Kebo Kenongo.
“Sedangkan dalam agama yang saya
pahami tentu saja punya nama yang
berbeda.” “Benar,” timpal Syekh Siti Jenar.
“Namun tetap maksudnya sama.
Hanya sebutannya saja yang berbeda.
Sehingga saya tadi mengurai seperti
itu.”
“Ya.” Kebo Kenongo menganggukan kepala. “Lantas ketika Syekh melayang apa
yang terjadi?” tanya Kebo Kenongo.
“Saya bisa melayang karena bisa
mengatur berat tubuh.” Syekh Siti
Jenar menatap langit, “Lihatlah di sana,
Ki Ageng! Mengapa burung itu bisa beterbangan, lalu saling kejar di
ketinggian yang tidak bisa kita jangkau
karena keterbatasan.”
“Tapi kenapa syekh sendiri bisa
meloncati keterbatasan tadi?”
“Sebenarnya bukan saya bisa meloncati keterbatasan, namun kita
bisa mengatur batas, menjauh dan
mendekatkan.” terang Syekh Siti Jenar.
“Maksud Syekh?” kerut Kebo
Kenongo. “Samakah dengan yang saya
dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?”
“Ya, namun berbeda.” “Maksudnya?”
“Jika Rasulallah Isra Mi’raj dengan
kehendak dan kekuasaan Allah.
Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti
Jenar.
“Saya kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya.
“Ya, saya tidak bisa seperti Rasulallah.
Sebab saya bukan beliau…” terang
Syekh Siti Jenar. “Namun saya bisa
menyatu dengan kekuatannya dan
dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri
Demak dengan sekejap itu bukan
persoalan yang mustahil.” tambahnya.
“Benarkah itu, Syekh?” Kebo Kenongo
semakin mengkerutkan dahinya. “Jika Ki Ageng Pengging ingin bukti,
maka tataplah saya! Jangan pula Ki
Ageng berkedip! Karena kepergian
saya ke pusat kota Demak Bintoro
bagaikan kedip, kembali pun
dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro
akan membawa makanan segar.” usai
berkata-kata, samarlah wujud Syekh
Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari
pandangan Kebo Kenongo.
“Lha,” Kebo Kenongo menggosok- gosok kedua matanya. “Benarkah
yang sedang terjadi dan kuperhatikan
ini?”
“Inilah makan segar dari pusat kota
Demak Bintoro, Ki Ageng.”
“Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika dihadapannya
Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali
seraya menyodorkan makanan hangat
dengan bungkus daun pisang.
“Itulah yang bisa saya lakukan, Ki
Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas hamparan tikar
pandan, dihadapannya terhidang dua
bungkus makanan hangat yang
beralaskan daun pisang. “Sekarang
marilah kita makan alakadarnya.”
“Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan. “Saya tidak
sanggup untuk memikirkannya,
Syekh? Kenapa andika hanya dalam
kedip pergi ke pusat kota Demak
Bintroro untuk mendapatkan
hidangan makan pagi. Padahal jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat
kota Demak memakan waktu satu hari
satu malam?”
“Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti
Jenar mengangguk. “Namun
bukankah kita tidak sedang berbicara tentang perjalanan jasad?”
“Maksud, Syekh?”
“Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika
saya pernah bercerita tentang
Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar
Syekh Siti Jenar. “Yang pernah Syekh baca dari ayat
suci alquran itu? Saya agak lupa.” Kebo
Kenongo menempelkan telunjuk
didahinya.
“Ketika Kanjeng Nabi Sulaiman
meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan kursi
Ratu Balqis ke istananya. Siapakah
yang bisa memindahkan singgasana
Ratu Balqis dalam waktu yang sangat
cepat, hingga jin Iprit menyanggupi.”
“Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun bukankah Jin Iprit
itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi
Sulaiman, karena dia meminta waktu
saat Baginda Nabi bangkit dari tempat
duduk maka singgasana akan
pindah…” “Benar, waktu seperti itu lama
menurut Kanjeng Nabi Sulaiman.
Karena bangkit dari duduk
memerlukan waktu beberapa saat.
Hingga berkatalah seorang ulama
serta mengungkapkan kesanggupa nnya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng
Nabi Sulaiman berkedip maka
Singgasana Ratu Balqis pun akan
berhasil dia bawa. Hanya satu
kedipan.” terang Syekh Siti Jenar. “…
dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.”
“Ya, benar, Syekh.” ujar Kebo
Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana
mungkin bisa dicerna dan dipahami
dengan keterbatasan berpikir
manusia.” “Tidak semua manusia seperti itu, Ki
Ageng.” terang Syekh Siti Jenar.
“Itulah manusia kebanyakan,
terkadang perkataannya dan
pendalamannya dibidang ilmu
dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang dalam
dirinya mencuat pula rasa angkuh dan
sombongnya. Jika hal itu terjadi maka
akan gelap untuk meraba dan meraih
yang saya maksud.”
Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa
membukakan kebodohan dan
kekurangan diri kita…” timpal Kebo
Kenongo. “Namun dalam uraian tadi
apa yang membedakan kehebatan
ilmu yang dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?”
“Tentu saja sangat berbeda.” Syekh Siti
Jenar bangkit dari duduknya, seraya
menatap langit. “Jin itu makhluk gaib,
tidak aneh bagi bangsa mereka
terbang, melayang-layang di angkasa, melesat secepat angin, menembus
lubang sekecil lubang jarum, bahkan
merubah wujud berbentuk apa pun
yang dikehendakinya.”
“Bisa pula tidak terlihat oleh manusia?”
“Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat ghaib itulah. Hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa menembus
alam jin. Sebaliknya hanya jin
tertentulah yang bisa menampakan
diri pada manusia.” terang Syekh Siti
Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya tidak bisa melebihi manusia.”
“Bukankah pada zaman ini banyak
pula orang-orang yang memiliki ilmu
jin bahkan mengabdikan diri, karena
ingin mendapat kesaktiannya.” timpal
Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya rasa tidak terlepas dari kekuatan dan
kesaktian atas bantuan bangsa jin
yang dijadikan tuannya.”
“Itulah kedangkalan berpikir manusia,
Ki Ageng. Mereka tidak melihat asal
usul, jika manusia itu makhluk yang paling mulia di banding yang lainnya.
Termasuk jin.”
“Jika demikian, Syekh. Berarti kita
harus menaklukan jin agar bisa
memerintah mereka dan memanpaatk
an kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?”
“Kenapa tidak mungkin. Bukankah
Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri
prajuritnya terdiri dari bangsa jin,
selain binatang dan manusia?” “Tapi untuk menaklukan bangsa jin
tentu saja ilmu kita harus di atas
mereka, Syekh?” “Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti
Jenar. “Namun jika kita sudah memiliki
ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi
tidak perlu memiliki dan menaklukan
jin. Karena kita bukan raja seperti
Kanjeng Nabi Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia.
Untuk dijadikan balatentara dan
membangun negara, dengan arsitek-
arsitek yang kokoh. Jin dijaman nabi
sulaiman di suruh menyelami laut
untuk mengambil mutiara, di suruh membangun keraton berlantaikan
kaca yang membatasi kolam
dibawahnya.”
“Meski bukan raja kita juga butuh
prajurit pengawal, Syekh?” “Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang
dijadikan prajurit pengawal. Bukankah
Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak
dikawal oleh bangsa jin, namun selalu
disertai oleh Malaikat Jibril kemana
pun beliau pergi.” “Lalu haruskah Kanjeng Nabi
menundukan Malaikat agar
mengawalnya? Sakti mana dengan
jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?”
“Tentu saja Malaikat itu lebih sakti dari
bangsa jin. Karena yang mencabut nyawa jin juga Malaikat seperti halnya
nyawa manusia. Kanjeng Nabi
Muhammad pun tidak perlu
menundukan Malaikat, karena dengan
sendirinya Malaikat akan di utus oleh
Allah untuk menyertai orang-orang shalih. Apalagi Malaikat Jibril sebagai
pembawa wahyu Allah yang
disampaikan kepada Kanjeng Nabi
Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar.
“Syekh sendiri siapa yang mengawal?”
“Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga keshalihannya tidak saya
ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah
mengutus Malaikat untuk mengawal
atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas
saya tidak dikawal oleh bangsa jin…”
Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila. “Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?

“Ya, itu sedikit ilmu yang saya pelajari
dari keMaha Besaran Allah. Mungkin
yang mengawal saya kemana pun
pergi adalah ilmu yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu saya pun
bisa memanggil prajurit Allah yang
empat.” tambah Syekh Siti Jenar.
“Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo.
“Apakah para Malaikat? Kalau di dalam
agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa triloka.” ”Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya
tidak akan berbicara tentang para
Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan
matanya menyapu wajah Kebo
Kenongo.
“Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat bukan Malaikat,”
“Kenapa bukan Malaikat? Bukankah
Malaikat bisa mencabut nyawa
manusia dan bangsa jin yang goib?”
tanya Kebo Kenongo.
“Meskipun demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda dengan kita.
Hanya yang membedakan kita dengan
Malaikat, dia adalah goib. Malaikat
memiliki keimanan tetap dan tidak
pernah berubah, berbeda dengan
bangsa manusia dan jin. Namun meski bagaimana pun tetap saja manusia
makhluk yang paling mulia, tetapi
sebaliknya derajat kemulian yang
diberikan Allah kepada manusia akan
lenyap. Bahkan manusia akan didapati
sebagai makhluk yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.” urai
Syekh Siti Jenar.
“Lalu prajurit yang dimaksud?”
”Yang dimaksud prajurit tentu saja
penyerang, penghancur, perusak,
dengan segala tugas yang diembannya.”
“Mungkinkah mirip dengan Dewa
Syiwa?”
“Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti Jenar
berhenti sejenak. “Sedangkan prajurit
Allah yang empat disini pun fungsi dan tugasnya untuk menghancurkan,
merusak, dengan tujuan manusia
berbalik pada jalan lurus. Mengingatk
an kekeliruan yang pernah diperbuat
oleh para khalifah bumi. Tujuannya
tentu saja menyadarkan, jika yang menedapatkan taufiq dan hidayah.
Adzab dan siksa bagi mereka yang
tidak pernah mau bertobat dan
kembali kepada jalan yang lurus.”
“Lalu siapa yang dimaksud dengan
prajurit Allah yang empat tadi, Syekh?” “Prajurit Allah yang empat itu
diantaranya…” Syekh Siti Jenar
melangkahkan kakinya perlahan. “…
pertama adalah angin. Lihatlah angin
yang lembut dan sepoi-sepoi, namun
perhatikan pula jika angin itu mulai dahsyat serta bisa memporak-p
orandakan bangunan sehebat apa
pun, menghancurkan pohon-pohon
yang tertancap kokoh, menerbangkan
segala hal yang mesti diterbangk
annya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau perkampungan.
Lantas ketika angin mengamuk siapa
yang bisa membendung dan
menghalang-halangi?”
“Tidak ada, Syekh.”
“Itulah kehebatan prajurit Allah yang disebut manusia angin pada syariatnya
. Padahal angin itu hakikatnnya
membawa pesan pada manusia, pada
para khalifah bumi, agar menyadari
kekeliruan yang pernah diperbuatn
nya. Manusia yang melakukan keruksakan di muka bumi maka akan
kembali pada perbuatannya,
akibatnya. Namun dalam hal ini
manusia hanya memandang sebelah
mata pada hakikat angin. Mereka lebih
banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau logika dan
penalaran semata, karena itu semua
akibat dari keterbatasan ilmu yang
dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki
tidak mencakup berbagai hal, namun
terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia terkadang
melupakan Allah yang memiliki lautan
ilmu.” urai Syekh Siti Jenar, seraya
langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di
tepi jalan, matanya menyapu
tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang berlapis-l
apis.
“Bukankah manusia akan selalu merasa
pintar jika seandainya berhasil
menangani sedikit persoalan saja,
Syekh?” “Itulah manusia. Namun tidak
semuanya seperti itu. Tetapi itulah
watak orang kebanyakan. Maka jika
demikian tertutuplah pintu ilmu
berikutnya, terhalang oleh
keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.” ujar Syekh
Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan
dengan manusia yang batinnya
terang. Dia tidak akan pernah berbuat
congkak, apalagi sombong, yang bisa
membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan selamanya
sanggup memahami segala hal
dengan jernih….”
“…sangat sulit, Syekh.” Kebo Kenongo
menarik napas dalam-dalam. “…pantas
saja diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup
membersihkan batin dari noda-noda
tadi. Mungkin saya sulit mencapai
ma’rifat tadi karena batin ini masih
dijejali dan dikotori hal-hal yang
membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada
intinya masih berbau keangkuhan,
kesombongan, angkara, rasa iri dan
dengki. Namun rasanya sulit untuk
melepaskan hal-hal tadi, Syekh.
Mungkin karena kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk
kemewahan duniawi, yang selalu hadir
di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang
kita?” “…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah
setiap manusia hidup memerlukan
kebutuhan jasadiyah?” timpal Syekh
Siti Jenar. “Duniawi adalah kebutuhan
lahiryah, sedangkan menuju ma’rifat
adalah proses perjalanan batin menuju akrab.” “Benar, Syehk. Namun jika gangguan
duniawi sangat terlalu kuat, bisa
menggelapkan mata batin. Sehingga
kita selalu memperjuangkan
kepentingan jasadiyah tanpa kendali
dan melupakan kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah
yang sangat sulit.” “Sebetulnya kita tidak perlu seimbang
dulu. Namun itu terlalu berat untuk
kebanyakan orang dan tidak mungkin
dapat tercapai. Sebab bagi yang telah
ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh
melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau
berada dalam genggaman.” terang
Syekh Siti Jenar, lantas membuka
telapak tangannya dan diacungkan ke
langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah!
Inikah yang Ki Ageng inginkan?” “Syekh, rasanya sangat berat untuk
menempuh jalan ma’rifat.” Kebo
Kenongo nampak tidak ceria.
“Ya, tentu saja.” “Mungkinkah saya harus bertahap?
Menurut tahapan ilmu, Syekh?” “Tidak selalu, Ki Ageng Pengging.”
Syekh Siti Jenar perlahan bangkit dari
duduknya. “Bukankah saya
menyarankan jika seandainya andika
kesulitan mengikuti ilmu Islam,
hendaknya ikutilah ajaran agama yang andika anut. Bukankah andika tinggal
satu atau dua langkah lagi menuju
ma’rifat, setelah itu akrab. Orang yang
akrab dengan Allah itulah seperti yang
pernah saya uraikan sebelumnya.” “Ya,” Kebo Kenongo menggeleng, “Itu
dibicarakan sangatlah mudah, Syekh.
Namun untuk melaksanak terasa berat, dan sulit untuk membuka
tabirnya. Jika sekali saja tabir itu sudah
terbuka tentulah berikutnya akan lebih mudah.” “Benar,” Syekh Siti Jenar terdiam
sejenak, matanya yang sejuk dan
tajam beradu tatap dengan Kebo
Kenongo. “Ya, hanya Sunan Kalijaga
yang bisa…” gumamnya.
“Sunan Kalijaga?”ak perlu dipikirkan! Apalagi
mempertanyakannya.” Syekh Siti Jenar
kembali ke tempat duduknya. “Benar, Syekh. Andika selain bisa
membaca keinginan batin saya juga
dapat membuktikannya hanya
dengan mengepalkan tangan.” Kebo
Kenongo menggeleng-gelengkan
kepala, seraya memujinya.

Monday, September 9, 2013

KUMPULAN PUISI GALAU KARENA CINTA



PUISI MALAM INI
Kadang kala dia hadir
Menembus di antara sela sela
Genteng rumah menerawang
Sepertinya awan tak simpati melewati malam ini
Daun daun di belakang persinggahan
Memetik dinginya angin malam
Sesekali menari bersama alunan merdu
Nyanyian alam
Namun kita tak jua tersadar
Dari mimpi mimpi kehidupan
Tak pernah pula kita bertanya
Kapan bintang menghadirkan pagi
Dan siang berakhir ke senja hari
Cobalah mulai menghitung,berapa kali purnama melingkar
Dalam satu bulan
Berapa juta bintang yang setia padanya di setiap peradaban
Entahlah
Beberapa hari ini dia tak hadir mengisi malam
Tergambar dari tiap lembar kabut dan rintik gerimis yang
Tak jua habis
Dan pena masih juga menari di antara tarikan nafas
Hembusan demi hembusan mencipta baris baris dingn malam
Hadirkan titikan embun embun sahaja
Tiap kali menghela
Hatiku penuh Tanya,kenapa dia tak lagi hadir
Menembus di antara sela sela genteng menerawang
Hanya dedaunan yang setia memetik angin menari
Menghantarkan pagi
Namun kini,,tiap kalender sudah tak mampu lagi ku tandai

TAK SEMPURNA TANPA MATAHARI
Matahari seolah terdiam
Tak bisa biaskan sempurna
Cahayanya…
Melewati bentangan kabut menggulung..
Dan hujan yang tak bisa reda seketika
Hanya sisakan genangan lumpur melekat di sepatu
Sungguh…
Matahari adalah sempurna,
Namun,,,
Dalam otaku melingkar satu pertanyaan
Adakah kabut dan hujan tanpa matahari???

DIA ADA UNTUK AKU
Duka ini tak jua mereda
Semakin tebal melapisi didinding hati
Menguatkan keyakinan
Engkau takkan lagi ada bersamaku
Semakin ku coba menahan dinding tekanan
Semakin kuat kau hancurkan pertahanan batinku
Setelah ku tahu ada yang lain di hatimu
Engkau semakin jauh menuntut untuk melupakanku
Biarkan dinding hati ini tertutup untuk masa lalu
Tapi biarkan dia tetap ada tuk mengisi hari hari bersama masa depanku

DI UJUNG BUKAN MUARA
Tertumpah di antara dua mata
Sepakat berakhir tanpa muara
Bulir bulir mengalir tanpa mending tebal,
ataupun kilatan halilintar
tapi mereka tetap bertanya sampai dimana
akhir sebuah cerita
karena air mata mengalir tanpa muara
dan pucuk dedaunan tak lagi
jatuhkan embun kesucian
terhapus telaga airmata di atas pagi
gulita tanpa aksara

SEBATANG ROKOK DINI HARI
Sebatang rokok di peradaban
Di jepitnya di antara telunjuk
Sesekali telapak tangan mengusap kusamnya kehidupan
Dalam sejuta kenangan
Embun di pucuk sang mawar
Membasahi lembaran jiwa
Yang berontak
Dalam singgah gulana
Tertekan dini hari mencekam kengerian
Semua membuyar di antara detak jam memecah sunyi  malam
Sebatang rokok habis sudah
Membakar pagi dan tanpa seutas mimpi

TELAGA DOA
Tersusun dari jiwa yang rindu
Akan cinta dan cita
Dari belasan kali kegagalan
Tuk menyusun aksara
Agar Nampak menjadi makna yang sempurna
Lahir dari jiwa yang rindu
Akan indahnya dunia penuh makna
Kini aksara menjadi kata
Mengalirkan sungai dari telaga tanpa mata air
Dan biarkan dia mengalir tanpa akhir
Tak ada lagi yang rindu
Karena dunia hadir dengan warna
Dengan aksara penuh makna
Hadir sempurna dengan lantunan
Merdu doa…

PUISI RINDU
Simpanlah semua cerita
Jangan sisakan hingga menjadi buih
Kebencian kata di atas genangan rindu
Dan gumpalan letih yang menunggu
Lihatlah isi kehidupan dari masa lalu
Dari seribu barisan kata
Dari puisi puisi tanpa aksara
Engkau takkan pernah tahu,kapan rindu ini hadir
Mengisi kehidupan dan mengalir laksana kata kata
Tanpa tutup masa
Tapi lihatlah dengan hatimu
Bahwa puisi adalah hidupnya kepingan kepingan rindu
Yang senantiasa letih menunggu
Simpanlah semua
Tapi bukan untuk puisi puisi tanpa kata
Tanpa aksara…



WAKTU ITU BERLALU


Waktu itu kau begitu dekat denganku
Waktu itu tak ada waktu tanpamu
Waktu itu kujalani hidupku dengan senyum dan tawamu
Tak sanggup ku jauh darimu Karena fikiran bodohku

Waktu itu aku terbawa nafsu
Aku ingin sekali jalani hidup lebih dekat denganmu
Karena waktu itu aku merasa kau sangat mengerti dengan ku
Waktu itu kau seakan tau apa yang aku mau
Waktu itu tak bisa aku ungkapkan kata lain lagi
Selain kata aku cinta padamu Sehingga

waktu itu aku tak sedar Menyatakan cintaku
Dengan bodohnya diriku yang berharap kau mengerti perasaan ku
Waktu itu terbayang filling bodohkuKau akan sama rasaku
Namun khayalan bodohku itu bertolak dengan realita
waktu itu Yang terus berlalu dan semakin jauh dariku

Waktu itu aku hanya bisa mengenang sebuah cerita yang terlalui
Waktu itu telah berlalu dan kucoba bertanya pada diri
Apakah aku sepadan dengan mu ?
Apakah aku bisa bahagiakan mu ?
Apakah aku layak untukmu ?

Waktu itu baru terjawab olehku Cintamu bukan untukku
Hanya pesanku jika masih ada rasamu Ingat aku disini


 
SUNYI
Oleh : Abdoel Munawar

Disudut hatiku yang meradang…
dalam lingkarang kebahagiaanmu,
Dari tiap bingkai lukisan perasaan
Yang pedih tiap kali ku pandang
Kau hanyut dalam suka cita
sementara ku tenggelam bersama lara
Ku coba hapus luka dengan untaian perjalanan bahagia..
walau sesungguhnya batinku tersiksa 
Ku Coba warnai  kanvas
Dengan titikan air mata
Kau bukan milkku,tapi hadirmu adalah lukisan terindah dalam hidupku..
Walau perih aku takkan sanggup membencimu….


Harapan Cintaku


Ketika mentari menyinari dunia...
Ku berharap ada secercah harapan cintaku tersinari juga
Namun ternyata sinar itu tak kunjung datang
Masa demi masa telah terurai….
Aku masih tetap seperti ini
Menjalani hidup yang ada di depan mata
Ketika mataku mulai meredup….
Hatiku tak berharap lagi…
Mentari itu malah datang memberikan sinarnya
Aku pun dengan tangan terbuka dan
Senyum yang bahagia menyambut kehadirannya
Harapan cinta itupun mulai ada….
Namun,,, disaat aku mulai berharap
Dia malah pergi meninggalkanku….
Kenapa mesti seperti ini?
Aku sangat menyayanginya…
Kini aku sadari,,,
Dia hanyalah bayangan sinar mentari
Yang tak sengaja singgah di hatiku
Dia hanya ingin menghancurkanku dengan serpihan cahayanya
Dia hanya ingin membuat hatiku meleleh dengan panasnya.
Aku tak menyesal bertemu dengannya
Yang aku sesali adalah dia telah membohongi dirinya sendiri
Dengan mengubar janji
Selamat tinggal mentariku……
Bawalah harapan cintaku dengan tenggelamya sinarmu dikala senja...


JANTUNGKU

dalam bahasa kalbu ku uraikan segenggam doa
meminta dan mengiba atas nama
cinta
tuk tegar dalam menguasai cemburu hati
tuk sanggup membina
cinta yang redup
entah kesetiaan seperti apa yang ku punya
namun hati ini tetap satu untukmu
entah seberapa jauh kau berlari
ku tetap di belakangmu....
meski ada nyawa yang terbuang
ku rela

adakah kau mengerti disana
istanaku tetap utuh seperti dulu
penuh dengan hiasan canda dan tawamu
dan masih mekar pula bunga yang kau titipkan itu
dalam asa ku berdoa
ku jaga cintamu....
ku jaga hatimu...
ku jaga salu.....

kau ingin tahu doaku padaNya?

" Yaa Rabbi..
ku takkan biarkan cintaku terbias oleh Kuasamu
ku takkan pernah takut padaMu
demi cinta.......
Demi Namamu...
seberapa besar Kuasamu
seberapa berat ujianMu

ku hadapi dengan senang hati
meski Kau utus seribu Izroil Kepadaku.
meski kau luluhkan air nerakaMu

Aku Tak Takut.

Karna dia adalah harapanku
karna dia adalah nyawaku
dan karena dialah....
pembawa kasihMu padaku

Namun...
jika Kau berikan dia untukku...
Demi Keagunganmu.

Ku berani Kehilangan dia sekarang
tapi pertemukanlah aku dengannya
Dalam Hari KeabadianMu nanti"


Tidak boleh kecuali kamu


Tidak boleh kecuali kamu yang bias membuat terbang ke angkasa
Membuat hari-hariku
indah
Membuat mimpi menjadi nyata hanya kamu yang bias menyanyikan sebuah lagu
Dengan lantunan nada yang indah…

Hanya kamu yang bisa membuat malam hariku menjadi bersinar kau seperi bintang di hatiku
Menerangi dalam kegelapan dan kesepian
Menghapus air mataku dengan tangan mu

Tidak boleh kecuali kamu yang dapat membuat ku yang biasa ini
Menjadi sempurna di mata mu
Tidak boleh kecuali kamu yang bias membuat ku terseyum penuh dengan cahaya di matamu

CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali)


Hening malam temaniku dalam gelap
Seiring berjalannya waktu
Ku dengar suara motor
Dari kejauhan ku memandang..,
Ohh…. Ternyata dirinya…
Seseorang yang dahulu singgah dalam hati

Saat ia berhenti di depan rumahku
Jantungku mulai berdetak kencang
Sekencang angin yang berhembus dari utara ke selatan
Perlahan ia melangkah menghampiriku
Sekujur tubuhku mulai dingin
Sedingin lautan es
Ia menyapaku dengan senyuman
Membuat hati ini lemah tak berdaya

Oh… Tuhan…
Apa yang terjadi denganku …?
Mungkinkah rasa cinta ini tumbuh kembali…?
Kupersilahkan ia duduk…
Kami berbincang sambil tertawa…

Oh… Ternyata benar …
Diriku mengharap ia kembali untukku…

Puisi ini merupakan sejarah bagiku karena saat ku membuat puisi ini adalah dimana pertama kalinya aku merasakan cinta yang sebenarnya meskipun ia telah pergi.

MENGAPA


Saat hati tlah yakin pada keindahan cinta
Saat jiwa tlah menyatu dalam satu raga
Saat cinta tlah melalui beberapa episode

Mengapa...,
Mengapa kini kau pergi tinggalkanku…
Tinggalkan kisah cinta kita
Kisah cinta yang tlah tertata rapi dalam suatu cerita

Mengapa…,
Mengapa kau ingkari janji kita…
Janji tuk sehidup semati

Mengapa….,
Mengapa secepat ini kau kembali disisi.Nya
Mengapa...,
Mengapa…,
Mengapa….?


MAWAR


ku teringat akan sekuntum mawar..
bunga mawar yang begitu
indah
bunga yang keindahannya seakan tidak pernah memudar..
bunga yang keharumannya seakan tidak pernah menghilang..

masih terekam jelas dalam ingatan tentang sekuntum mawar
mawar yang seakan tak pernah gugur,
walau semilir angin datang menggoda..
mawar yang seakan tidak pernah patah,
meski banyak tangan jahil yang berusaha menjamahnya..

ku hanya bisa memandanginya..
ya.. hanya memandanginya....
terus memandangnya dari kejauhan..
menunggu saat yang tepat untuk memetiknya..
memilikinya...

Surat Cinta


Awan menyuratkan cinta
Menghapus duka dalam cerita
Malam hangatkan bumi kita
Keheningan datang dalam dunia

Embun bersahaja kini menyapa
Desiran debu melambai saja
Aku datang membawa berita
Andaikan dirimu kini tak ada

Kau datang membawa derita
Kau datang membawa asa
Kau datang hilangkan bahagia
Kau datang hancurkan tawa

Apakah ini kutukan sang dewa?
Nestapa tak henti membayang lara
Ataukah ini karena tuhan murka?
Meski kami tak henti berdoa

Lambaian lembut tetap setia
Mengiringi langkah cinta
Namun diri ini merasa
Dunia kini hampa
Tanpa ada makna
Yang tersisa


CINTA DI SUDUT MENTARI


Dari arah timur …
Mentari memunculkan sinar keemasannya…
Seakan tersenyum geli
Melihat perasaanku yang tak karuan ini.

Ku menatap perasaanku dengan mata hatiku
Hatiku yang terdalam mengatakan….
Kamulah yang ku inginkan….

Ku ingin mencintaimu
Tapi bukan karena keegoisanku
Ku ingin menyayangimu
Tapi bukan sebatas itu…

Hatiku terpuruk pilu
Akankah ada yang terluka bila aku mencintaimu….?????
Aku pun tak tahu….

Perasaan ini tak bisa ku tampakkan
Yang ku tahu Tuhan mengerti perasaan ini
Cintaku akan tetap bertahta
Bersama mentari yang bersinar di sudut langit…..


Rasa dalam cinta


Saat kudekatimu

Kau tengah
menangis

Saat kubasuh airmatamu

Kau pun tersenyum…

Saat kubalas senyummu

Kau dekap aku…..

ahhh….

indahnya cinta manakala jantungku berdegup

tanpa ragu mengiringi irama nafasmu

tak bisa kuberkata

saat cinta memanggil

tak mampu kuberpaling

saat cinta bertahta

hmm….

Memanglah kamu

Hanya airmatamu yang mampu

menyirami ragaku

dengan basuhan senyum

dalam dekapan cinta yang nyata





Tangisanku tak berujung Penyesalan


Sikap yang Kau tunjukan
Menjadi Jawaban yang selama ini Kupertanyakan
Meski menjauh dari Harapan
Tangisanku tak berujung pada Penyesalan
Engkau tinggalkan
Sakit untuk rasa ini
Terang untuk Hidup Kulalui
Kan selalu terkenang diHati
Cintaku terganti dengan Cahaya suci

Bukan Pembual

Apa yang kudapatkan Sejauh ini
Jadikan Kesedihan mewarnai hati
Sulitku tulis Kebahagiaan
dengan apa yang kurasakan...
Apakah tempatku disini
Salah untuk apa yg kucari
Mengapa Aku tak bisa pergi
Jika kau tak ingin kumengerti ....
Saatku mencoba Bertahan
Hatikupun semakin Perih
Dan aku bukanlah pembual
Karena kini kumenangis dalam Kehampaan...