Hikmah Dalam Perjalanan Hidup
Posted by Abdoel Munawar
Sebenarnya yang harus kita nikmati dalam hidup ini
adalah proses. Mengapa? Karena yang bernilai dalam hidup ini ternyata adalah
proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu ALLOH yang menetapkan, tapi bagi kita
punya kewajiban untuk menikmati dua perkara yang dalam aktivitas sehari-hari
harus kita jaga, yaitu selalu menjaga setiap niat dari apapun yang kita lakukan
dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan, selebihnya terserah
ALLOH SWT.
Seperti para mujahidin yang berjuang membela bangsa dan agamanya, sebetulnya bukan kemenangan yang terpenting bagi mereka, karena menang-kalah itu akan selalu dipergilirkan kepada siapapun. Tapi yang paling penting baginya adalah bagaimana selama berjuang itu niatnya benar karena ALLOH dan selama berjuang itu akhlaknya juga tetap terjaga. Tidak akan rugi orang yang mampu seperti ini, sebab ketika dapat mengalahkan lawan berarti dapat pahala, kalaupun terbunuh berarti bisa jadi syuhada.
Ketika jualan dalam rangka mencari nafkah untuk keluarga, maka masalah yang terpenting bagi kita bukanlah uang dari jualan itu, karena uang itu ada jalurnya, ada rizkinya dari ALLOH dan semua pasti mendapatkannya. Karena kalau kita mengukur kesuksesan itu dari untung yang didapat, maka akan gampang sekali bagi ALLOH untuk memusnahkan untung yang didapat hanya dalam waktu sekejap. Dibuat musibah menimpanya, dikenai bencana, hingga akhirnya semua untung yang dicari berpuluh-puluh tahun bisa sirna seketika.
Walhasil yang terpenting dari bisnis dan ikhtiar yang dilakukan adalah prosesnya. Misal, bagaimana selama berjualan itu kita selalu menjaga niat agar tidak pernah ada satu miligram pun hak orang lain yang terambil oleh kita, bagaimana ketika berjualan itu kita tampil penuh keramahan dan penuh kemuliaan akhlak, bagaimana ketika sedang bisnis benar-benar dijaga kejujuran kita, tepat waktu, janji-janji kita penuhi.
Dan keuntungan bagi kita ketika sedang berproses mencari nafkah adalah dengan sangat menjaga nilai-nilai perilaku kita. Perkara uang sebenarya tidak usah terlalu dipikirkan, karena ALLOH Mahatahu kebutuhan kita lebih tahu dari kita sendiri. Kita sama sekali tidak akan terangkat oleh keuntungan yang kita dapatkan, tapi kita akan terangkat oleh proses mulia yang kita jalani.
Ini perlu dicamkan baik-baik bagi siap pun yang sedang bisnis bahwa yang termahal dari kita adalah nilai-nilai yang selalu kita jaga dalam proses. Termasuk ketika kuliah bagi para pelajar, kalau kuliah hanya menikmati hasil ataupun hanya ingin gelar, bagaimana kalau meninggal sebelum diwisuda? Apalagi kita tidak tahu kapan akan meninggal. Karenanya yang paling penting dari perkuliahan, tanya dulu pada diri, mau apa dengan kuliah ini? Kalau hanya untuk mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, hanya tok uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang.
Bagi kita kuliah adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita menuntut ilmu supaya tambah luas ilmu hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya. Kita tingkatkan kemampuan salah satu tujuannya adalah agar dapat meningkatkan kemampuan orang lain. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa mensejahterakan orang lain.
Dalam mencari rizki ada dua perkara yang perlu selalu kita jaga, ketika sedang mencari kita sangat jaga nilai-nilainya, dan ketika dapat kita distribusikan sekuat-kuatnya. Inilah yang sangat penting. Dalam perkuliahan, niat kita mau apa nih? Kalau mau sekolah, mau kuliah, mau kursus, selalu tanyakan mau apa nih? Karena belum tentu kita masih hidup ketika diwisuda, karena belum tentu kita masih hidup ketika kursus selesai.
Ah, Sahabat. Kalau kita selama kuliah, selama sekolah, selama kursus kita jaga sekuat-kuatnya mutu kehormatan, nilai kejujuran, etika, dan tidak mau nyontek lalu kita meninggal sebelum diwisuda? Tidak ada masalah, karena apa yang kita lakukan sudah jadi amal kebaikan. Karenanya jangan terlalu terpukau dengan hasil.
Saat melamar seseorang, kita harus siap menerima kenyataan bahwa yang dilamar itu belum tentu jodoh kita. Persoalan kita sudah datang ke calon mertua, sudah bicara baik-baik, sudah menentukan tanggal, tiba-tiba menjelang pernikahan ternyata ia mengundurkan diri atau akan menikah dengan yang lain. Sakit hati sih wajar dan manusiawi, tapi ingat bahwa kita tidak pernah rugi kalau niatnya sudah baik, caranya sudah benar, kalaupun tidak jadi nikah dengan dia. Siapa tahu ALLOH telah menyiapkan kandidat lain yang lebih cocok.
Atau sudah daftar mau pergi haji, sudah dipotret, sudah manasik, dan sudah siap untuk berangkat, tiba-tiba kita menderita sakit sehingga batal untuk berangkat. Apakah ini suatu kerugian? Belum tentu! Siapa tahu ini merupakan nikmat dan pertolongan dari ALLOH, karena kalau berangkat haji belum tentu mabrur, mungkin ALLOH tahu kapasitas keimanan dan kapasitas keilmuan kita.
Oleh sebab itu, sekali lagi jangan terpukau oleh hasil, karena hasil yang bagus menurut kita belum tentu bagus menurut perhitungan ALLOH. Kalau misalnya kualifikasi mental kita hanya uang 50 juta yang mampu kita kelola. Suatu saat ALLOH memberikan untung satu milyar, nah untung ini justru bisa jadi musibah buat kita. Karena setiap datangnya rizki akan efektif kalau iman kitanya bagus dan kalau ilmu kitanya bagus. Kalau tidak, datangnya uang, datangnya gelar, datangnya pangkat, datangnya kedudukan, yang tidak dibarengi kualitas pribadi kita yang bermutu sama dengan datangnya musibah. Ada orang yang hina gara-gara dia punya kedudukan, karena kedudukannya tidak dibarengi dengan kemampuan mental yang bagus, jadi petantang-petenteng, jadi sombong, jadi sok tahu, maka dia jadi nista dan hina karena kedudukannya.
Ada orang yang terjerumus, bergelimang maksiat gara-gara dapat untung. Hal ini karena ketika belum dapat untung akan susah ke tempat maksiat karena uangnya juga tidak ada, tapi ketika punya untung sehingga uang melimpah-ruah tiba-tiba dia begitu mudahnya mengakses tempat-tempat maksiat.
Nah, Sahabat. Selalulah kita nikmati proses. Seperti saat seorang ibu membuat kue lebaran, ternyata kue lebaran yang hasilnya begitu enak itu telah melewati proses yang begitu panjang dan lama. Mulai dari mencari bahan-bahannya, memilah-milahnya, menyediakan peralatan yang pas, hingga memadukannya dengan takaran yang tepat, dan sampai menungguinya di open. Dan lihatlah ketika sudah jadi kue, baru dihidangkan beberapa menit saja, sudah habis. Apalagi biasanya tidak dimakan sendirian oleh yang membuatnya. Bayangkan kalau orang membuat kue tadi tidak menikmati proses membuatnya, dia akan rugi karena dapat capeknya saja, karena hasil proses membuat kuenya pun habis dengan seketika oleh orang lain. Artinya, ternyata yang kita nikmati itu bukan sekedar hasil, tapi proses.
Begitu pula ketika ibu-ibu punya anak, lihatlah prosesnya. Hamilnya sembilan bulan, sungguh begitu berat, tidur susah, berbaring sulit, berdiri berat, jalan juga limbung, masya ALLOH. Kemudian saat melahirkannya pun berat dan sakitnya juga setengah mati. Padahal setelah si anak lahir belum tentu balas budi. Sudah perjuangan sekuat tenaga melahirkan, sewaktu kecil ngencingin, ngeberakin, sekolah ditungguin, cengengnya luar biasa, di SD tidak mau belajar (bahkan yang belajar, yang mengerjakan PR justru malah ibunya) dan si anak malah jajan saja, saat masuk SMP mulai kumincir, masuk SMU mulai coba-coba jatuh cinta. Bayangkanlah kalau semua proses mendidik dan mengurus anak itu tidak pakai keikhlasan, maka akan sangat tidak sebanding antara balas budi anak dengan pengorbanan ibu bapaknya. Bayangkan pula kalau menunggu anaknya berhasil, sedangkan prosesnya sudah capek setengah mati seperti itu, tiba-tiba anak meninggal, naudzhubillah, apa yang kita dapatkan?
Oleh sebab itu, bagi para ibu, nikmatilah proses hamil sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mengurus anak, pusingnya, ngadat-nya, dan rewelnya anak sebagai ladang amal. Nikmatilah proses mendidik anak, menyekolahkan anak, dengan penuh jerih payah dan tetesan keringat sebagai ladang amal. Jangan pikirkan apakah anak mau balas budi atau tidak, sebab kalau kita ikhlas menjalani proses ini, insya ALLOH tidak akan pernah rugi. Karena memang rizki kita bukan apa yang kita dapatkan, tapi apa yang dengan ikhlas dapat kita lakukan. ***
1. Tidak ada yang namanya Kepahitan Hidup
Pernahkah kita mendengar dan mungkin membenarkan
pernyataan seseorang yang menceritakan tentang ‘pahitnya hidup’?. Di sisi lain
umumnya orang mengatakan itu hal yang lumrah. Sebagai manusia tentulah kita
akan mengalami manis-pahitnya kehidupan bukan?. Meskipun begitu, kita tidak
boleh memaknainya sebagai kewajaran yang bersifat absolut. Karena bila dilihat
dari sudut pandang ayat di atas -al kautsar-, yang mengatakan tentang melimpah
ruahnya nikmat yang diberikan Alloh, tentulah akan bertabrakan dengan kejadian
yang kita rasakan dalam hidup ini. Terutama yang berfaham kewajaran. Karena
tiap kajadian baik itu manis maupun pahit selalu ada hikmah yang mengiringinya.
Bila dilihat dari kaca mata batiniah, kita disuruh
mengambil i’tibar atau hikmah di balik setiap kejadian dalam hidup ini.
Disitulah kita akan menemukan nikmat hidup. Bagaimana cara memahaminya? dengan
cara bersinggungan lewat pahit manisnya hidup ini. Sebagaimana kita ingin tahu
seperti apa sabar itu, otomatis kita akan mengalami kejadian yang memaksa kita
untuk dapat menahan amarah kita. Tanpa mekanisme itu, kita hanya tahu kalimat
sabar tapi tidak memahami esensinya. Sebagaimana nasehat orang tua dulu,
’meskipun pahit jangan tergesa-gesa memuntahkan, siapa tahu itu obat. Dan
meskipun itu manis jangan tergesa-gesa memakannya, siapa tahu itu racun’.
Sebegitu pentingnya hal ini, dijelaskan juga di ayat
lain yaitu surat Ibrahim ayat 34, ” -dan- Dia telah memberikan kepadamu
-keperluanmu- dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya dan jika kamu
menghitung nikmat Alloh, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari -nikmat Alloh-”. Menghitung
nikmat Alloh ibaratnya menghitung bintang di langit.
Maka, andaikata kita berani memerdekakan alam fikir
kita, tidak terbelenggu dengan fenomena hidup ini. Selalu fokus pandangan kita
pada Sang Pencipta Segala Kejadian, sesungguhnya tidak ada istilah ’kepahitan’
dalam hidup ini atau apapun istilah yang kita gunakan. Yang ada hanya
kenikmatan hidup. Ketidak fahaman kita akan hidup secara tidak kita sadari alam
fikir kita telah terkontaminasi oleh polusi hidup yang kita ciptakan sendiri.
Kita telah mengotori kehidupan kita sendiri. Dampaknya, banyak yang ketakutan
dalam membeli sebuah harga untuk memilih.
Bagaimana kita bisa merasakan manisnya hidup bila kita
tidak pernah merasakan pahitnya hidup? bagaimana kita bisa mengatakan air itu
manis bila -barang setetespun- belum pernah mencicipi rasa air yang pahit?.
Hidup adalah pilihan. Semua orang di belahan bumi manapun akan memilih
‘kemanisan’ dalam hidupnya bukan?. Karena itu adalah fitroh manusia. Namun
sayang, manusia banyak yang mengkebiri potensinya sendiri hanya gara-gara
sebuah keadaan -putus asa-. Manusia banyak mengakhiri perjalanan hidupnya
-impiannya- yang sebenarnya belum berakhir.
Jika kita berpandangan bijak, tentulah kita akan
menemukan kefahaman baru kalau sesungguhnya kepahitan hidup hanyalah proses
atau perjalanan awal untuk sampai pada manisnya hidup itu sendiri. Bila kita
berjalan terus tentu kita akan sampai. Berhubung kita berhenti di tengah jalan
maka dalam hidup akan selalu menemukan kepahitan. Kondisi ini jika kita
rumuskan, ‘Bila kita ingin sampai ke ‘angka 9’, maka konsekuensinya kita harus
melalui ‘angka 0,1,2,3, 4,5,…....8’.
Bila kita runut dari uraian di atas, pada hakikatnya
yang ada dalam hidup ini adalah kenikmatan atau kemanisan hidup. Dan yang perlu
kita tekankan di sini adalah ‘melewati kepahitan hidup’ dengan ‘pahitnya hidup’
tidaklah sama pengertiannya. Ternyata kita hanya ‘melewati’. Sekali lagi! hanya
lewat alias numpang lewat.
Proses ’numpang lewat’ untuk sampainya pada manisnya
hidup tidak lain karena Alloh sedang membimbing kita untuk merasakan
hidangan-Nya secara utuh -lengkap-. Kita sebenarnya telah di bimbing sekaligus
di ajari merasakan karunia-Nya beserta rute untuk sampai ke nikmat tersebut.
Dengan begitu rasa syukur kita menjadi lebih sreg dan juga point plusnya
sebagai sarana informasi bagi yang ingin menanyakan tentang nikmat-Nya. Bila
dipertegas, tentulah ’proses numpang lewat’ tersebut sebenarnya juga bagian
dari nikmat itu sendiri. Terangkum dalam bahasa penuh makna. Surat Al Kautsar.
2. Letak Nikmat
Setelah kita menjadi jelas kalau ternyata kepahitan
hidup bukanlah kalimat terakhir tapi hanyalah sebatas proses transformasi untuk
sampainya kepada kesadaran baru tentang tidak adanya kepahitan dalam hidup ini,
tentunya titik final perjalanannya adalah menemukan letak nikmat itu sendiri.
Pada umumnya kenikmatan hidup selalu diukur dengan
berbagai macam keberhasilan. Padahal ukuran keberhasilan tidak lebih dari
penilaian orang sekitar dan banyak yang melupakan rasa kepuasan daripada
keberhasilan itu sendiri. Justru yang di tuju harusnya ’rasa puas’ tersebut.
Karena kepuasan bisa dikatakan ’rasa internal’ manusia yang bersifat original
yang tidak dapat dibandingkan dengan rasa puas sebab penilaian di luar dirinya.
Tentunya rasa puas yang dapat memunculkan karakter syukur sebab konsepsi
memandang ’sudah sejauh mana saya melangkah’ dan bukan ’seberapa jauh saya
harus melangkah’. Sebagaimana Sabda Rosululloh -dalam bahasa ringkasnya- ”Hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin”.
Konsepsi tersebut setidaknya akan mengikis hasrat
pribadi sebuah kepalsuan syukur, ”...Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan
sangat mengingkari -nikmat Allah” -Ibrahim 34- sebab faktor ketidaktahuan akan
letak nikmat yang kian hari kian meninggalkan pusat orbitnya. Dengan kita
memahami ini, maka apapun realita hidup yang kita hadapi tidak akan pernah
lepas dari pusat sentral kenikmatan. Kehidupan ini akan selalu dikelilingi oleh
nikmat itu sendiri. Pujian orang sekitar tidak masuk dalam daftar pemikiran
kita.
Ketidaktahuan akan letak nikmat hidup menyebabkan
manusia secara tidak sadar malah menjauhkan diri dari kehidupannya yang hakiki.
Walaupun ada juga yang mengatakan bahwasannya nikmat awal yang wajib kita
syukuri dalam hidup ini adalah nikmat hidup itu sendiri, setidaknya manusia
juga harus mengetahui letak nikmat yang ada dalam hidupnya agar dalam memandang
sebuah kenikmatan tidak salah letak keliru pasang. Sekarang, ”bagaimana caranya
agar dalam hidup ini manusia selalu berada dalam nikmat hidup?” tentu kita
harus mengetahui dimana kira-kira letaknya nikmat.
Membicarakan masalah ‘letak nikmat’ sama halnya
membicarakan masalah ‘sumber nikmat’ itu sendiri. Dan sumber nikmat itu tidak
lain terletak dalam diri kita pribadi. Kenapa kita tidak mengatakan sumber
nikmat adalah Alloh? karena Alloh bukan sumber nikmat, tapi lebih tepatnya
Sumber dari segala Sumber nikmat. ‘Sumber’ dengan ‘Segala Sumber’ tentulah
mempunyai perbedaan makna dan pengertian.
Benarkah sumber nikmat itu ada di dalam diri kita?
coba kita renungkan, kenapa kita bisa menikmati indahnya pemandangan alam,
sejuknya angin di pagi hari, segarnya air pegunungan, dan seterusnya. Dan tidak
kalah pentingnya adalah dapat mengenal Sang Pencipta jagat raya ini.
Subhanalloh, semua itu bisa ternikmati karena kita tercipta dalam wujud
manusia. Ciptaan yang paling sempurna diantara segala ciptaan-Nya. Bayangkan
bila kita diciptakan Alloh tidak sebagai manusia, bisakah kita nikmati kesemua
itu?. Lebih-lebih hidangan yang bersifat batiniah
-spiritual-, tentu tidak bukan?.
Jelas sudah! manusia adalah letak atau sumber nikmat
itu sendiri. Itulah nikmat awal yang kita wajib untuk mensyukurinya. Syukuri apa
yang ada dalam diri ini, insyaAlloh apa yang ada di langit dan di bumi akan
mensyukuri keberadaan kita -nikmat hidup-.
3. Dibalik kalimat Basmalah
Setelah kita memahami bahwasannya dalam mengarungi
hidup ini ternyata tidak ada yang namanya kepahitan hidup dan juga kenyataan
sebenarnya bahwa manusia adalah letak nikmat itu sendiri. Tentulah penyebab itu
semua dikarenakan sebegitu besarnya Kasih Sayang Alloh pada manusia. Dan untuk
mempertegas kembali bahwa wujud Cinta adalah An Nas, maka kita harus mengetahui
juga dimanakah kira-kira Alloh meletakkan Kasih Sayang-Nya. Dengan begitu kita
akan semakin lebih tahu apa hubungannya dengan diri kita yang notabene sebagai
‘yang terpilih’ -ciptaan paling sempurna-.
Sesungguhnya letak Kasih Sayang Alloh bersembunyi di
balik kalimat Basmalah -hikmah-. Kalimat yang tidak asing buat kita. Kalimat
yang selalu mengiringi segala aktifitas yang akan kita lakukan. Dan hubungannya
dengan diri kita sebagai ‘yang terpilih’ adalah sebagai tali pengingat supaya
di setiap segala aktifitas hidup kita tidak lupa akan Kasih Sayang Alloh yang
dengan-Nya kita tercipta dalam wujud manusia. Dengan begitu segala aktifitas
yang kita lakukan di kehidupan ini akan selalu memancarkan Cahaya Kasih
Sayang-Nya. Hidup damai diantara sesama. Kesemuanya terangkum dalam kalimat
suci. Basmalah. Sebagaimana sabda Rosululloh, ”Tiap-tiap perbuatan yang
dianggap baik tetapi tidak dibacakan Basmalah ketika akan memulainya maka
perbuatan itu akan menjadi puntung -terputus dari rahmat Alloh-”. Sabdanya yang
lain, ”Tatkala turun ‘Basmalah’ Alloh bersumpah dengan kemuliaan-Nya dan
keagungan-Nya bahwa tidaklah ia di baca atas sesuatu melainkan Alloh akan
memberkahinya”.
Dalam redaksi lain, panutan dan sekaligus junjungan
kita Nabi Muhammad saw bersabda, ”Sesungguhnya Basmalah itu adalah merupakan
pembuka dari semua kitab-kitab. Sungguh!, Basmalah itu sangat mulia dan banyak
rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya”. Dengan kalimat itulah langit dan
bumi beserta segala isinya tercipta yang merupakan wujud dari keindahan
wajah-Nya. Semua kebaikan yang bertebaran di alam ini adalah wujud dari Sifat
dan Asma-Nya. Semua yang maujud di alam ini hakikatnya adalah manifestasi
Diri-Nya dan puncaknya adalah Manusia.
Achmad Chodjim -penulis bukunya Syekh Siti Jenar ’makna
kematian’- mengatakan dalam bukunya, walaupun semuanya berasal dari realitas
yang tunggal. Berasal dari Iradat yang Maha Tunggal, tetapi yang paling unggul
diantara semua realitas adalah Manusia. Tempat yang sempurna untuk menampakkan
eksistensi-Nya. Bukan karena sosok jasmaniahnya tetapi potensi yang ada di
balik jasmani itu sendiri. Terpercaya sebagai khalifah-Nya. Sebagai pemakmur
bumi.
Bisa dipastikan ‘Kata Kunci’ untuk memperjelas wujud
Cinta adalah Basmalah. Karena semua bermuara dari Kasih Sayang-Nya. Langit dan
bumi ada karena Kasih Sayang Alloh, Tumbuh-tumbuhan beraneka warna dan jenis
tercipta karena Kasih Sayang Alloh. Air mengalir dan gunung-gunung menjulang
tinggi karena Kasih Sayang Alloh. Dan puncak kesempurnaan gambaran Kasih
Sayang-Nya adalah Manusia. Manusia adalah kasih sayang itu sendiri, berwujud
dalam bentuk yang paling indah. Sosok Manusia. Dimana keberadaannya sudah ada
sebelum diadakan. Bagaikan Buah Hati yang terlahir dari seorang Ibu.
Maka, sepantasnyalah manusia selalu menebarkan kasih
sayang dalam hidupnya, lebih-lebih pada sesamanya. Kanjeng Nabi Muhammad
bersabda, ”Demi Zat yang jiwaku di bawah kekuasaan-Nya, tidaklah beriman
seorang hamba sampai ia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagai mana ia
menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri”.
Setelah kita memahami bahwasannya Wujud Cinta tidak
lain adalah Diri Kita Pribadi, tentulah yang tepat untuk mewakili lambang Cinta
adalah sosok manusia itu sendiri. Lambang cinta adalah manusia.
’Lha terus..., bagaimana dengan gambar daun waru
dengan warna merah yang selama ini diyakini kebenarannya sebagai lambang
Cinta?’. Semua berpulang pada pribadi masing-masing dan yang terpenting semua
mengerti, memahami dan tidak melupakan substansi wujud hakikinya. Manusia itu
sendiri. Dengan begitu manusia akan selalu terarah dalam mengimplementasikan
Cinta di setiap perjalanan hidupnya. Cinta yang selalu membawa keselamatan
sekaligus kemaslahatan buat diri pribadi dan lingkungan sekitar. Sebagaimana
diisyaratkan Rosululloh bahwa ciri manusia paling baik diantara manusia adalah
yang paling dapat memberikan kemanfaatan bagi sesama.
No comments:
Post a Comment