Sejarah
Aksara Jawa & Legenda Aji Saka
Oleh : Abdoel Munawar
Kalu kita bicara tentang
huruf Jawa atau lebih dikenal dengan sebutan ha na ca ra ka, kita seringkali
terpikir tentang legenda Ajisaka. Aku sudah mencoba muter-muter cari refrensi,
namun kisah tentang Ajisaka lebih banyak aku temukan dalam hal cerita rakyat
atau mitologi saja.Literatur sejarah yang bisa di pertanggung jawabkan sulit
ditemukan.
Padahal bila menilik awal pemakaian huruf Jawa yang bersamaan dengan berkuasanya Sultan Agung di Mataram, catatan tentang itu seharusnya ada. Sebelum Sultan Agung aksara yang dipakai adalah arab pegon, ketika jaman kerajaan Demak - Pajang. Di jaman Majapahit yang digunakan adalah aksara pallawa.
Padahal bila menilik awal pemakaian huruf Jawa yang bersamaan dengan berkuasanya Sultan Agung di Mataram, catatan tentang itu seharusnya ada. Sebelum Sultan Agung aksara yang dipakai adalah arab pegon, ketika jaman kerajaan Demak - Pajang. Di jaman Majapahit yang digunakan adalah aksara pallawa.
Kalau memang Ajisaka
penemu ha na ca ra ka tentunya orang Jawa tidak mengenal aksara pallawa dan
devanagari. Nyatanya semua prasasti ditulis dalam huruf pallawa. Terlebih lagi
tidak ada bentuk kakawin dalam Jawa Kawi yang memuat kisah Hanacaraka.Pada saat
itu bila memang Ajisaka sudah dikenal, paling tidak ada catatan sejarahnya.
Kisah tentang Ajisaka hanya ditemukan dalam bahasa Jawa baru, artinya kisahnya
ditulis pada jaman Kapujanggan (Mataram Kartasuran).
sebenarnya Bangsa
Nusantara ini memiliki tradisi berupa tradisi lisan dan bukan tulisan. Maka
dari itu banyak Candi memiliki relief berupa cerita mirip komik sehingga mudah
dipahami oleh masyarakat. Ketika tingkat intelektualitas kalangan bangsawan dan
cendekia merasa kurang praktis dengan bahasa gambar, mereka meminjam dan
memodifikasi aksara India (pallawa dan devanagari) untuk dijadikan tulisan
nusantara.
Kenapa kisah Ajisaka
lebih aku sebut sebagai mitologi. Ini sesuai dengan budaya lisan bangsa kita
yang lebih suka menyampaikan sesuatu tanpa dokumen tertulis, sehingga kiasan
banyak dipergunakan. Apalagi cerita turun temurun itu kebanyakan bersifat
istana sentris. Sehingga banyak hal yang dibiaskan dari makna sesungguhnya. Tak
heran bila banyak sekali filosofi lama yang ketika dipertanyakan akan cukup
dijawab dengan kata ora ilok atau pamali.
Filosofi yang akan
diajarkan dari kisah ini bisa ditelusur dari penamaan tokoh-tokohnya. Tanah
Jawa diceritakan dikuasai oleh Prabu Dewata Cengkar. Dewata berarti dewa, roh leluhur yang dianggap
menguasai salah satu kodrat”. Cengkar artinya
”tempat yang luas; tidak subur; banyak batu padasnya. Ajisaka berasal dari dua
kata. Aji berarti kekuatan yang cenderung bersifat
spiritual. Saka berarti tiang atau penyangga.
Jadi dari kemenangan Ajisaka atas Dewatacengkar bisa diartikan sebagai kebaikan yang mengalahkan keburukan. Ajisaka
sebagai simbol kebajikan akhirnya bisa naik tahta menjadi raja Medang Kamulan.
Namun karena Ajisaka juga
manusia, dia bisa khilaf dengan apa yang sudah menjadi ucapannya sendiri.
Ungkapan sabda pandhita ratu yang menjadi panutan bawahannya menuai bencana.
Dikisahkan ketika meninggalkan pulau Majethi di sebelah selatan Nusakambangan,
kerisnya ditinggalkan disana dan abdinya bernama Sembada ditugaskan untuk
menjaganya dengan pesan keris itu tak boleh diserahkan kepada siapaun selain
Ajisaka sendiri yang mengambilnya. Setelah Ajisaka bertahta dia menyuruh
abdinya yang lain bernama Dora untuk mengambil keris itu. Keduanya bersikukuh
dalam pendirian masing-masing. Sembada merasa wajib menjaga keris sampai
Ajisaka mengambilnya sendiri. Dora merasa wajib mengambil keris itu dan
menyerahkannya kepada Ajisaka.
Bila keduanya akhirnya
bertempur sampai mati mempertahankan perintah plinplan itu, siapa yang salah..?
Cuma herannya kenapa abdi itu diberi nama Dora dan Sembada. Dora itu artinya bohong danSembada artinya kuat atau teguh. Apakah Dora
berbohong kepada Sembada dan pura-pura ditugaskan mengambil keris..? Rasanya
tak mungkin pemilihan nama tokoh ini tidak memiliki arti ke filosofi yang akan
nasehatkan leluhur kepada kita. Masa sih itu cuma kebetulan hanya untuk
mengejar ending cerita agar sesuai dengan kaidah amar makruf nahi munkar saja.
Atau itu cuma untuk
mengkiaskan bahwa benar atau salah, orang kecil selalu menjadi
korban kekhilafan penguasa...? Rakyat harus menuruti semua
perintah penguasa dan mempertahankan perintah itu sampai titik darah
penghabisan. Sementara penguasa tetap tak tersentuh dan cukup membuat prasasti
peringatan saja. Mbuh lah, belum nemu literatur lebih lengkap neh...
Memang dari kisah perang
sampyuh itu kemudian diciptakan huruf Jawa ini dengan arti :
Hana caraka : Ada utusan
Data Sawala : Mereka bertengkar
Padha Jayanya : Sama-sama kuat
Maga Bathanga : Sama-sama mati
Kiasan dari kisah itupun
sampai sekarang pun tetap eksis. Selalu ada 2 kekuatan yang selalu saling
serang. Misalnya antara kelompok religius yang mengandalkan kitab - kitab suci
dan keimanan sebagai dasar. Dan yang kedua adalah kelompok sekuler yang mengandalkan
logika dan akal sebagai dasar. Kedua Kelompok ini selalu bertikai dan saling
membunuh. Bukti nyata ada di Indonesia, bagaimana kelompok religius memasang
bom di sebuah kafe, dan kelompok sekuler balik menghancurkan ekonomi indonesia
sebagai balasan. Keduanya sama-sama remuk sedangkan konseptornya tetap damai
tak tersentuh. Paling banter tepuk tangan membayangkan keuntungan di depan
mata. Ke pihak pertama dia bisa jual senjata dan ke pihak kedua dia jual jasa.
Bila kita melihat
kebiasaan bangsa kita membuat candra sengkala, susunan hanacaraka pun kayaknya
layak kita baca dengan cara itu. Ada sebuah konsep spiritual yang teramat
tinggi bisa dijabarkan dengan cara baca terbalik.
Maga mbathang
Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi. Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim" atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Jadi maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini.
Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi. Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim" atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Jadi maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini.
Padha jayanya
Kekuatan luar dan dalam diri manusia telah menyatu padu. Dalam konsep China biasa disebut, Yin dan Yang telah menyatu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya.
Kekuatan luar dan dalam diri manusia telah menyatu padu. Dalam konsep China biasa disebut, Yin dan Yang telah menyatu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya.
Dhata sawala
Tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam. Tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan.
Tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam. Tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan.
Hana caraka
Munculah caraka atau lahirlah pesan atau kreasi.
Munculah caraka atau lahirlah pesan atau kreasi.
Jadi lahirnya alam
semesta ini karena adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip.
Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini juga karena adanya manusia-manusia yang
menjalani proses Hanacaraka. Selama kita tidak mau menjalankan proses
"mbathang" atau mematikan ego, maka selamanya tak akan ada kreasi.
Mumet yah..?
Pada bae nyong ya
iya..hee
Biar lebih ringan, aku
coba buat filosofi sendiri tentang awal mula kehidupan dengan hanacaraka. Tentu
saja keterbatasan otakku yang terlalu sederhana. Kira-kira begini :
Hana caraka : Aku
mendatangi istriku
Data sawala : Aku dan
istriku adu mulut
Pada jayanya : Aku dan
istriku sama-sama kuat
Maga bathanga : Aku dan
istriku sama-sama terkapar
Yah...
Ternyata awal mula
kehidupan bisa sesederhana itu ya..?
Trus soal Ajisaka gimana..?
Ya mungkin itu cuma kiasan dari kekuatan (aji) dari sebuah tiang/tongkat (saka) yang bisa melahirkan kehidupan baru. Lain-lainnya tolong dibantu cari refrensi deh...
Ora
usah Mumet mumet,,Nyong ya pada bae mumet…..
Mbokan
ana sing luwih ngarti Sejarah Ha na ca ra ka ,
ya
tulung ngabari nyong Ning Cawitali….Eben ora pada salah paham….
Wassalam…………
No comments:
Post a Comment