Apa yang kamu pikirkan tentang jarak dan perbincangan-perbincangan yang tertunda? Aku tidak pernah merasa semelankolis ini untuk memaknai jarak. Manusia memang harus terbiasa dengan perpisahan karena memang kita semua akan berakhir sendirian. Namun, bagaimana bila jarak itu yang memisahkan rasa-rasa? Maksudku, aku merasa semacam memiliki tali dengan orang-orang sekitarku. Saat aku dekat dengan seseorang maka tali yang ada di antara kami adalah tali yang kuat dan tebal. Aku tidak perlu khawatir dengan apapun karena toh mereka masih ada dalam jangkauanku (tentang ketebalan itu tadi dan resiko tali putus yang amat minim. Kecuali kita sama-sama ingin memutuskannya.
Namun, bagaimana bila saat orang yang ada di seberang sana, di sebelah pangkal dan aku ada di ujungnya mulai menjauh. Aku membayangkan tali itu akan semakin menipis, karena ia mulai berjarak. Iya, memang kita ada dalam satu tali,tapi langkah demi langkah yang kamu buat akan menipiskan tali itu. Sedangkan aku susah untuk melepaskan pegangan itu.
Ada banyak kemungkinan yang terjadi bila jarak yang lebih panjang ikut campur dalam urusan tali temali kita. Pertama, tali itu akan semakin tipis karena jarak yang kau tempuh semakin panjang. Tali yang semakin tipis itu akan bermakna bahwa orang yang ada di seberang sana dan aku (mungkin) akan tidak lagi memaknai hubungan tali temali kita dengan lebih khas dan rekat seperti kemarin.
Kedua, salah satu dari kau atau aku mungkin akan menyerah begitu saja karena pesimis tali itu akan tetap mengikat kita berdua. Mungkin di antara kita akan memilih memutusnya dan tidak mau ambil pusing dengan urusan tali yang semakin menipis.
Ketiga, orang yang di seberang sana mungkin ada orang lain yang berkeinginan untuk memutus tali tersebut karena memang mereka pikir tidak ada gunanya, kemudian kita tidak sadar bahwa tali kita sama-sama terputus.
Kemungkinan keempat, yang paling tragis, atau justru yang paling normal adalah tali itu memang terputus begitu saja karena memang waktunya untuk putus. Serat-serat yang menyatu menjadi sebuah rangkaian yang kita beri nama tali itu ternyata sudah uzur. Bahannya tidak terlalu elastis, mungkin dari bahan yang murah jadi ia tidak cukup kuat menahan jarak yang kita buat. Ia tidak cukup tegar dengan masing-masing diri kita yang bertambah kuat. Mungkin ia tidak cukup waspada saat salah seorang yang ada di ujung maupun di pangkal akan berusaha saling menarik dan ikatan itu akhirnya jatuh.
Aku sedang mencari formula bagaimana jarak dan tali bisa berkawan dengan baik. Elastis dan tidak putus di tengah jalan. Apakah harus ada mantra-mantra gaib untuk menjaga tali itu? Atau haruskah ada zat-zat kimia yang kutambahkan agar tali itu semakin kuat? Atau aku biarkan saja kalau memang massa menunjukkan tali itu harus putus dan kami tidak boleh lelah untuk menyambungnya lagi? Atau di antara dari kami akan menihilkan jarak supaya tali itu tetap kuat?
Itu baru jarak dan tali. Belum lagi waktu yang kami habiskan untuk memikirkan tali-tali itu. Jarak tempuh yang sebentar untuk membiarkan tali itu merenggang lalu akan secara otomatis balik ke tempat semula mungkin tidak akan berpengaruh banyak dari tali, justru membuatnya berlatih elastis. Waktu menambah kalut semua. Waktulah yang mengambil keputusan dan malaikat pencabut nyawa tali kami.
Di dunia yang lain, guruku pernah mengajarkan bahwa kita semua adalah makhluk yang bebas. Tidak perlu tali untuk memaknai hubungan dengan orang lain. Karena lagi-lagi kita akan berakhir sendirian, dan kitalah yang membuat keputusan akan perjalanan-perjalanan yang ditempuh, tanpa harus ada tali. Ah aku ini semakin banyak pikir saja. Kurang sederhana.
Seharusnya aku menjalani hidup dengan sederhana, seperti bangun pagi, bersiap-siap lalu menulis sebentar, membaca koran, mulai mengedit berita, memikirkan yang berjarak sesekali tanpa harus menghabiskan waktu yang lebih banyak, makan siang dengan porsi yang cukup, menyelesaikan tugas akhir, membuat kopi untuk menyamankan suasana, mengobrol dengan kawan, mulai lagi merajut wol, sesekali melukis, atau berjalan kaki di akhir pekan, menulis surat untuk yang berjarak, ikut diskusi dan membincangkannya lagi dengan alam pikiranku saat perjalanan pulang, mencuci baju dengan tangan, menjemur pakaian dalam tanpa rasa malu, menyapu kamar, membuatnya berantakan lagi, lalu berkeluh kesah lagi seperti ini, ngopi lagi di malam hari, mengerjakan skripsi, memikirkan lagi jarak dan kamu dan kita yang makin berjarak, tidur sedapatnya, bangun, sarapan, menulis, mengedit ,seperti itu lagi.
No comments:
Post a Comment